Selasa, 12 Juli 2011

Bouleverser

Posted by Melinda Pradita at 01.02
Hujan masih turun. Dan aku terjebak di dalam café kecil ini. Aku ingin pulang, tapi tak bisa. Tubuhku terlalu ringkih untuk menembus derasnya hujan kali ini. Jadi aku hanya duduk, memandangi hujan yang turun saling berkejaran, sambil sesekali menyesap sisa-sisa kopi di cangkirku. Mungkin aku harus memesan secangkir lagi, pikirku. Lagipula, hujan sore ini membawa hawa dingin yang mampu mengerutkan kulit dan lambungku. Aku berpikir dan menimbang lagi. Benar, secangkir black coffee dan sepiring kecil pancake tampaknya menjadi pilihan yang tepat untuk menemaniku menunggu hujan reda.
Aku memanggil pelayan yang berada tak jauh dari mejaku, mengatakan pesananku, dan membiarkannya mencatat kemudian memastikan kembali. Aku mengangguk, kemudian kembali memperhatikan rinai hujan yang turun dari jendela kecil di sampingku. Aneh, pikirku. Hanya dengan melihatnya saja aku seolah mampu merasakan butiran-butiran dinginnya yang jatuh di tanganku dan meresap ke pori-pori kulitku. Tak puas, aku menyentuh permukaan kaca jendela di sampingku. Dingin, tentu saja. Dan seakan ada magnet yang menarik tanganku untuk tetap menyentuh kaca jendela itu, dingin permukaannya yang perlahan menyusupi kulitku tak kuhiraukan lagi. Aku menuliskan sesuatu di kaca itu. Namamu. Benar, namamu.
Pesananku datang. Pelayan itu mengagetkanku yang masih terbuai menuliskan namamu di kaca jendela café ini. Aku terkejut, kemudian cepat-cepat menghapuskan namamu dari jendela itu. Pelayan itu tersenyum lucu. Aku mendengus. Bodohnya aku. Tentu saja dia tak akan pernah bisa melihat namamu, jadi kenapa harus repot-repot kuhapus? Aku tergelak pelan menyadari kekonyolanku, diikuti seringai lebar si pelayan. Pelayan itu pun membungkuk sopan, kemudian berlalu.
Aku menghela napas getir, memandangi kaca jendela di sampingku tempat aku menuliskan namamu. Sudah terhapus. Sudah tidak berbekas lagi. Ah ya, hujan telah membantu menghilangkannya. Hanya dalam hitungan detik namamu telah terhapus dari sana. Aku menunduk lemas. Kenapa hatiku tidak terbuat dari kaca saja? Dan kenapa aku tidak menuliskan namamu di hatiku dengan jari-jariku saja? Dengan begitu, saat kau pergi nanti, aku akan lebih mudah menghapusnya. Benar, kan?
Aku memasukkan potongan kecil pancake ke mulutku kemudian menghirup kopiku. Manis, lalu pahit. Sepertimu. Seperti kenangan yang sudah kau kirimkan di hatiku. Terlanjur, pikirku. Kulanjutkan saja semua manis pahit bersamamu. Tak apa, asal bersamamu.
Lonceng di pintu café berbunyi, sesosok tubuh tegap berlari kecil dengan baju penuh bercak hujan memasuki café. Aku terkesiap memandangi sosok itu. Sosok itu mengedarkan pandangannya mengelilingi café, kemudian tatapannya berhenti saat melihatku. Sosok itu menghampiriku dengan senyum lucunya, lalu duduk di hadapanku. Pelayan pun menghampirinya dan sosok itu menyebutkan pesanannya.
“Surprised to meet you here, girl,” ujarnya sambil mengerling jenaka. Aku tertawa. Lagi-lagi laki-laki ini menyelamatkanku. Aku memperhatikannya seksama, membiarkannya menyesap kopiku hingga akhirnya pelayan datang lagi membawakan pesanannya. Dia meletakkan cangkir kopiku, kemudian menghirup cangkir kopinya. Latte.
Kemudian, laki-laki ini memandangiku dengan tatapan tajam. “You should change your coffee with mine. Mine would be sweetening you, better than this black one,” dia berkata tegas sambil menatap mataku dalam.
Aku terhenyak sesaat. Kemudian tersenyum. Dan aku membiarkannya menukar kopiku dengan kopinya. Mungkin benar. Kali ini, biar saja…

0 comments:

Posting Komentar

 

Melicious Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea