Gadis kecil itu memandang resah jam dinding di belakang kelasnya. Lima menit lagi, ujarnya dalam hati. Ia mengetuk-ngetukkan sepatunya, memberi tanda bahwa ia sudah ingin melesat keluar dari kelas ini. Tak dihiraukannya Ibu Guru yang masih mengajarkan cara melipat kertas origami untuk membuat setangkai bunga mawar. Gadis kecil itu sesekali berdiri dan melongok ke luar jendela, kemudian duduk lagi dengan tidak nyaman. Ibu Guru memandang gadis kecil itu lewat sudut matanya, namun dibiarkannya saja. Memang sebentar lagi saat yang dia tunggu akan tiba, batin Ibu Guru.
Bel tanda istirahat pun berbunyi. Gadis kecil itu tersenyum lebar, kemudian segera berlari keluar kelas. Ada yang ingin ia temui. Seseorang di sudut pagar sekolah yang selalu menunggunya pada jam istirahat semacam ini. Seseorang yang tidak boleh diketahui siapapun, kecuali dirinya sendiri. Gadis kecil itu terus berlari sambil mendekap sebuah kantung kecil di dadanya. Kucir rambutnya bergoyang kesana kemari, mengikuti derap langkahnya yang belum juga akan berhenti.
Seseorang di sudut pagar sekolah sudah menunggu dengan senyum lucunya. Seekor kucing berbulu putih kecokelatan mengekor dibelakangnya. Dipandanginya kucing itu sesaat, kemudian digendongnya. Kucing itu mengeong pelan dan manja, ikut merasakan kebahagiaan tuannya yang akan bertemu gadis kecilnya.
Gadis kecil sudah sampai di sudut pagar sekolah. Napasnya terengah-engah. Namun, senyumnya tetap merekah begitu melihat sosok yang dituju sedang tersenyum ramah. Gadis kecil itu mendekat.
“Hari ini aku bawakan Kucing Bersepatu. Kau belum pernah membacanya, kan?” tanya gadis kecil itu sembari mengeluarkan buku yang disimpan di kantung kecil yang sedari tadi didekapnya. Sosok yang ditanya menggeleng.
Gadis kecil itu tesenyum puas. “Sudah kuduga. Ini bukunya,” ujarnya tersenyum bangga sambil menyelipkan buku itu di sela-sela pagar sekolah. “Hai, Lucifer…” sapanya lucu ketika melihat kucing manja yang digendong oleh sosok itu. Lucifer mengeong, membalas sapaan gadis kecil itu.
Sosok itu menerima buku Kucing Bersepatu yang diulurkan gadis itu. Dia tersenyum puas. Kemudian, seperti teringat sesuatu, ia cepat-cepat merogoh tas kumalnya dan mengeluarkan sebuah buku lain.
“Yang ini aku sudah selesai membacanya… Ceritanya bagus. Terimakasih ya, Anna.” Ucap sosok itu tulus. Anna hanya mengangguk, kemudian menerima buku yang disodorkan kepadanya.
“Kau belajar apa saja hari ini?” Tanya sosok itu lagi.
“Banyak.” Ujar Anna sambil sesekali memperhatikan sekeliling, memastikan tidak ada yang melihat mereka berdua. Bertiga, jika Lucifer juga dihitung. “Aku belajar menulis huruf sambung, menghitung angka enam sampai sepuluh, kemudian membuat bunga mawar dari kertas origami.”
“Benarkah? Menyenangkan sekali…” sosok itu terlihat antusias.
Anna tersenyum simpul. “Iya, seharusnya menyenangkan. Kalau saja kau ada di kelas itu bersamaku, Tony…” ucapan Anna terputus. “Mungkin akan lebih menyenangkan,”
Tony tersenyum. “Tidak bisa, Anna. Aku harus membantu pamanku menjaga toko. Dia tidak akan mengizinkanku untuk bisa sepertimu… emm, belajar dan… bersekolah….”
Anna mengangguk pelan. Tatapan matanya sedih. “Maaf, Tony… Semenjak aku bersekolah, aku kehilangan banyak waktu bermain denganmu…” ujarnya pelan. Tony hanya tersenyum.
Tak lama, bel tanda istirahat telah berakhir berbunyi. Anna menatap Tony sesaat, kemudian berkata “Aku harus kembali ke kelas.”
Tony mengangguk. “Terimakasih untuk ini,” ujarnya sambil mengacungkan buku yang Anna berikan tadi.
Anna mengacungkan ibu jarinya sambil tersenyum, kemudian perlahan melihat kepergian Tony dari sudut pagar sekolah. Anna mendengus.Dia harus kembali ke kelas. Waktu istirahatnya sudah selesai.
Mel, 22 Juli 2011 08:00
Feedjit
Kamis, 21 Juli 2011
Selasa, 12 Juli 2011
Bouleverser
Hujan masih turun. Dan aku terjebak di dalam café kecil ini. Aku ingin pulang, tapi tak bisa. Tubuhku terlalu ringkih untuk menembus derasnya hujan kali ini. Jadi aku hanya duduk, memandangi hujan yang turun saling berkejaran, sambil sesekali menyesap sisa-sisa kopi di cangkirku. Mungkin aku harus memesan secangkir lagi, pikirku. Lagipula, hujan sore ini membawa hawa dingin yang mampu mengerutkan kulit dan lambungku. Aku berpikir dan menimbang lagi. Benar, secangkir black coffee dan sepiring kecil pancake tampaknya menjadi pilihan yang tepat untuk menemaniku menunggu hujan reda.
Aku memanggil pelayan yang berada tak jauh dari mejaku, mengatakan pesananku, dan membiarkannya mencatat kemudian memastikan kembali. Aku mengangguk, kemudian kembali memperhatikan rinai hujan yang turun dari jendela kecil di sampingku. Aneh, pikirku. Hanya dengan melihatnya saja aku seolah mampu merasakan butiran-butiran dinginnya yang jatuh di tanganku dan meresap ke pori-pori kulitku. Tak puas, aku menyentuh permukaan kaca jendela di sampingku. Dingin, tentu saja. Dan seakan ada magnet yang menarik tanganku untuk tetap menyentuh kaca jendela itu, dingin permukaannya yang perlahan menyusupi kulitku tak kuhiraukan lagi. Aku menuliskan sesuatu di kaca itu. Namamu. Benar, namamu.
Pesananku datang. Pelayan itu mengagetkanku yang masih terbuai menuliskan namamu di kaca jendela café ini. Aku terkejut, kemudian cepat-cepat menghapuskan namamu dari jendela itu. Pelayan itu tersenyum lucu. Aku mendengus. Bodohnya aku. Tentu saja dia tak akan pernah bisa melihat namamu, jadi kenapa harus repot-repot kuhapus? Aku tergelak pelan menyadari kekonyolanku, diikuti seringai lebar si pelayan. Pelayan itu pun membungkuk sopan, kemudian berlalu.
Aku menghela napas getir, memandangi kaca jendela di sampingku tempat aku menuliskan namamu. Sudah terhapus. Sudah tidak berbekas lagi. Ah ya, hujan telah membantu menghilangkannya. Hanya dalam hitungan detik namamu telah terhapus dari sana. Aku menunduk lemas. Kenapa hatiku tidak terbuat dari kaca saja? Dan kenapa aku tidak menuliskan namamu di hatiku dengan jari-jariku saja? Dengan begitu, saat kau pergi nanti, aku akan lebih mudah menghapusnya. Benar, kan?
Aku memasukkan potongan kecil pancake ke mulutku kemudian menghirup kopiku. Manis, lalu pahit. Sepertimu. Seperti kenangan yang sudah kau kirimkan di hatiku. Terlanjur, pikirku. Kulanjutkan saja semua manis pahit bersamamu. Tak apa, asal bersamamu.
Lonceng di pintu café berbunyi, sesosok tubuh tegap berlari kecil dengan baju penuh bercak hujan memasuki café. Aku terkesiap memandangi sosok itu. Sosok itu mengedarkan pandangannya mengelilingi café, kemudian tatapannya berhenti saat melihatku. Sosok itu menghampiriku dengan senyum lucunya, lalu duduk di hadapanku. Pelayan pun menghampirinya dan sosok itu menyebutkan pesanannya.
“Surprised to meet you here, girl,” ujarnya sambil mengerling jenaka. Aku tertawa. Lagi-lagi laki-laki ini menyelamatkanku. Aku memperhatikannya seksama, membiarkannya menyesap kopiku hingga akhirnya pelayan datang lagi membawakan pesanannya. Dia meletakkan cangkir kopiku, kemudian menghirup cangkir kopinya. Latte.
Kemudian, laki-laki ini memandangiku dengan tatapan tajam. “You should change your coffee with mine. Mine would be sweetening you, better than this black one,” dia berkata tegas sambil menatap mataku dalam.
Aku terhenyak sesaat. Kemudian tersenyum. Dan aku membiarkannya menukar kopiku dengan kopinya. Mungkin benar. Kali ini, biar saja…
Aku memanggil pelayan yang berada tak jauh dari mejaku, mengatakan pesananku, dan membiarkannya mencatat kemudian memastikan kembali. Aku mengangguk, kemudian kembali memperhatikan rinai hujan yang turun dari jendela kecil di sampingku. Aneh, pikirku. Hanya dengan melihatnya saja aku seolah mampu merasakan butiran-butiran dinginnya yang jatuh di tanganku dan meresap ke pori-pori kulitku. Tak puas, aku menyentuh permukaan kaca jendela di sampingku. Dingin, tentu saja. Dan seakan ada magnet yang menarik tanganku untuk tetap menyentuh kaca jendela itu, dingin permukaannya yang perlahan menyusupi kulitku tak kuhiraukan lagi. Aku menuliskan sesuatu di kaca itu. Namamu. Benar, namamu.
Pesananku datang. Pelayan itu mengagetkanku yang masih terbuai menuliskan namamu di kaca jendela café ini. Aku terkejut, kemudian cepat-cepat menghapuskan namamu dari jendela itu. Pelayan itu tersenyum lucu. Aku mendengus. Bodohnya aku. Tentu saja dia tak akan pernah bisa melihat namamu, jadi kenapa harus repot-repot kuhapus? Aku tergelak pelan menyadari kekonyolanku, diikuti seringai lebar si pelayan. Pelayan itu pun membungkuk sopan, kemudian berlalu.
Aku menghela napas getir, memandangi kaca jendela di sampingku tempat aku menuliskan namamu. Sudah terhapus. Sudah tidak berbekas lagi. Ah ya, hujan telah membantu menghilangkannya. Hanya dalam hitungan detik namamu telah terhapus dari sana. Aku menunduk lemas. Kenapa hatiku tidak terbuat dari kaca saja? Dan kenapa aku tidak menuliskan namamu di hatiku dengan jari-jariku saja? Dengan begitu, saat kau pergi nanti, aku akan lebih mudah menghapusnya. Benar, kan?
Aku memasukkan potongan kecil pancake ke mulutku kemudian menghirup kopiku. Manis, lalu pahit. Sepertimu. Seperti kenangan yang sudah kau kirimkan di hatiku. Terlanjur, pikirku. Kulanjutkan saja semua manis pahit bersamamu. Tak apa, asal bersamamu.
Lonceng di pintu café berbunyi, sesosok tubuh tegap berlari kecil dengan baju penuh bercak hujan memasuki café. Aku terkesiap memandangi sosok itu. Sosok itu mengedarkan pandangannya mengelilingi café, kemudian tatapannya berhenti saat melihatku. Sosok itu menghampiriku dengan senyum lucunya, lalu duduk di hadapanku. Pelayan pun menghampirinya dan sosok itu menyebutkan pesanannya.
“Surprised to meet you here, girl,” ujarnya sambil mengerling jenaka. Aku tertawa. Lagi-lagi laki-laki ini menyelamatkanku. Aku memperhatikannya seksama, membiarkannya menyesap kopiku hingga akhirnya pelayan datang lagi membawakan pesanannya. Dia meletakkan cangkir kopiku, kemudian menghirup cangkir kopinya. Latte.
Kemudian, laki-laki ini memandangiku dengan tatapan tajam. “You should change your coffee with mine. Mine would be sweetening you, better than this black one,” dia berkata tegas sambil menatap mataku dalam.
Aku terhenyak sesaat. Kemudian tersenyum. Dan aku membiarkannya menukar kopiku dengan kopinya. Mungkin benar. Kali ini, biar saja…
Categories
aku?
Rendezvous’
Aku terpaku melihat diriku yang baru. Cermin ini memantulkan sesosok gadis yang bukan aku. Aku mengernyit, mencoba melihat sosok itu lebih dekat lagi. Kupandangi seluruh bagian diriku yang terpantul dalam diri gadis itu. Benar, ini wajahku. Ini tubuhku. Dan ini ekspresi tak percayaku. Lalu, kenapa sosok ini terasa bukan seperti aku?
Aku melirik jam di sudut kamarku. Enam tiga puluh. Aku menghela napas berat, kemudian memandang kosong ke layar ponselku. Satu pesan darimu. Tentang kamu yang akan datang menemaniku malam ini. Tentang sisa waktuku yang tinggal sepuluh menit untuk mempersiapkan diri bertemu denganmu. Aku bergeming. Kenapa harus kamu? Batinku.
Cantik. Cermin itu seolah baru saja bicara padaku. Aku tersenyum miris, menolak untuk mendengar apapun tentang diriku malam ini. Aku beranjak, memagut kembali diriku di cermin. Aku menyisir rambutku lagi, memutuskan untuk menggerainya. Aku merapikan bajuku, kemudian memilih sepatu dan tas tangan terbaikku. Aku ingin malam ini sempurna denganmu. Memang kamu bukan dia, tapi biar saja. Aku tersenyum puas hingga dering ponselku berbunyi lagi. Ah, kamu. Kamu sudah sampai dan menungguku rupanya.
Aku menemuimu. Aku melihatmu dalam setelan celana jeans dan kemeja yang kau gulung sampai siku. Menarik, pikirku. Kamu tersenyum melihatku, dan aku pun tersipu. Kamu selalu bisa membuatku melupakannya dan menarikku ke duniamu. Ya, aku menyukaimu.:)
Aku dan kamu. Kali ini menghabiskan malam dalam tatapan penuh makna. Dalam ribuan kata yang saling bertautan dan berkejaran. Aku melihatmu tertawa dan berlari, aku mendengarmu bercerita dan bernyanyi. Perlahan aku menyukainya. Aku ingin berada di dekatmu lebih lama. Bukan hanya malam ini, aku menginginkan malam-malam setelahnya. Bersamamu, aku mulai bisa melupakannya.
Aku tersenyum kemudian tertawa menatapmu. Kamu terdiam, memandangku canggung seolah ada hal sulit yang ingin kau katakan. Kamu bergumam lirih, berkata dengan pelan tentang malam ini yang akan berubah menjadi pagi. Kamu menundukkan wajamu, menatapku dalam, kemudian meraih tanganku untuk kau genggam dan kau ajak pulang. Aku terkesima sesaat, lalu tersenyum. Aku mau.
Kamu memberikanku senyuman terbaikmu lagi untuk mengakhiri malam ini. Aku diam, tidak ingin membalas senyummu. Aku takut senyum ini menjadi senyummu yang terakhir untukku. Aku terus berdiam hingga akhirnya kamu meninggalkan sebuah kecupan kecil di pipiku dan berlalu. Aku membalikkan tubuhku, tak ingin melihat punggungmu yang semakin menjauh. Aku bergidik. Benarkah aku jatuh telah cinta padamu?
Aku melirik jam di sudut kamarku. Enam tiga puluh. Aku menghela napas berat, kemudian memandang kosong ke layar ponselku. Satu pesan darimu. Tentang kamu yang akan datang menemaniku malam ini. Tentang sisa waktuku yang tinggal sepuluh menit untuk mempersiapkan diri bertemu denganmu. Aku bergeming. Kenapa harus kamu? Batinku.
Cantik. Cermin itu seolah baru saja bicara padaku. Aku tersenyum miris, menolak untuk mendengar apapun tentang diriku malam ini. Aku beranjak, memagut kembali diriku di cermin. Aku menyisir rambutku lagi, memutuskan untuk menggerainya. Aku merapikan bajuku, kemudian memilih sepatu dan tas tangan terbaikku. Aku ingin malam ini sempurna denganmu. Memang kamu bukan dia, tapi biar saja. Aku tersenyum puas hingga dering ponselku berbunyi lagi. Ah, kamu. Kamu sudah sampai dan menungguku rupanya.
Aku menemuimu. Aku melihatmu dalam setelan celana jeans dan kemeja yang kau gulung sampai siku. Menarik, pikirku. Kamu tersenyum melihatku, dan aku pun tersipu. Kamu selalu bisa membuatku melupakannya dan menarikku ke duniamu. Ya, aku menyukaimu.:)
Aku dan kamu. Kali ini menghabiskan malam dalam tatapan penuh makna. Dalam ribuan kata yang saling bertautan dan berkejaran. Aku melihatmu tertawa dan berlari, aku mendengarmu bercerita dan bernyanyi. Perlahan aku menyukainya. Aku ingin berada di dekatmu lebih lama. Bukan hanya malam ini, aku menginginkan malam-malam setelahnya. Bersamamu, aku mulai bisa melupakannya.
Aku tersenyum kemudian tertawa menatapmu. Kamu terdiam, memandangku canggung seolah ada hal sulit yang ingin kau katakan. Kamu bergumam lirih, berkata dengan pelan tentang malam ini yang akan berubah menjadi pagi. Kamu menundukkan wajamu, menatapku dalam, kemudian meraih tanganku untuk kau genggam dan kau ajak pulang. Aku terkesima sesaat, lalu tersenyum. Aku mau.
Kamu memberikanku senyuman terbaikmu lagi untuk mengakhiri malam ini. Aku diam, tidak ingin membalas senyummu. Aku takut senyum ini menjadi senyummu yang terakhir untukku. Aku terus berdiam hingga akhirnya kamu meninggalkan sebuah kecupan kecil di pipiku dan berlalu. Aku membalikkan tubuhku, tak ingin melihat punggungmu yang semakin menjauh. Aku bergidik. Benarkah aku jatuh telah cinta padamu?
Categories
aku?
Langganan:
Postingan (Atom)